AKANKAH PERANNYA TERGANTI DENGAN SEKOLAH MAYA?

Matapendidikan.com,- Sejak
dunia memasuki revolusi industri 4.0, kalian dapat menyaksikan bagimana
menjamurnya platform belajar online. Orang-orang yang sebelumnya
terbiasa belajar secara nyata dalam bentuk yang konvensional, memiliki alternatif
lain tentang caranya belajar dari seorang guru.
Diantaranya adalah bimbel online. Eksitensinya menjamur tak terbendung. Dengan iming-iming
harga yang lebih miring dan pendekatan yang lebih fresh, siswa diberikan alternatif belajar dengan lebih ‘fleksibel’
dengan para guru yang menjelaskan didepan layar seukuran genggaman tangan. Bukan
di dunia nyata, namun dunia maya.
Sebelumnya, kita mungkin mengira hanya pengajian, kursus,
atau bimbel saja yang akan berlangsung di dunia maya. Namun, masa pandemi telah
meruntuhkan dugaan itu. Pada akhirnya, sekolah konvensional dengan mode tatap
muka di kelaspun harus berlangsung di dunia maya. Mengikuti protokol yang
dianjurkan negara.
Di Indonesia, sebagaimana kalian ketahui, kondisi ini telah
terjadi dalam waktu berbulan-bulan. Sekolah konvensional dihentikan dan
pembelajaran diarahkan untuk menggunakan dunia maya. Hingga muncul satu bentuk
rekaan liar tentang bagaimana nasib sekolah di masa depan.
Akankah sekolah konvensional dapat benar-benar diganti oleh
sekolah maya? Pertanyaan ini menarik untuk diulas, dan kami tertarik juga
menjadi bagian yang mengulasnya.
Gagasan utama yang kami kemukakan, adalah bahwa sesuatu yang
hampir –atau bahkan dapat dikatakan- mustahil hal terebut terjadi. Peran sekolah
dengan pola pengajaran tatap muka sangat sulit digantikan perannya sebagai
metode dalam pengajaran di dunia pendidikan.
Kalaupun sekolah maya mengambil peran, maka perannya tak
bisa secara utuh menggantikan sekolah konvensional dengan mode tatap muka.
Dalam konteks sekedar mentransfer ilmu, mungkin bisa saja
sekolah maya menggeser konvensional. Namun, dalam aspek-aspek lain, ada hal
yang sulit terganti dari sekolah konvensional. Hal ini membuat kami
berkesimpulan bahwa sekolah maya tak akan benar-benar utuh menghilangkan
sekolah konvensional.
Berikut kami uraikan lebih lanjut.


Pertama, belajar di
dunia maya memiliki keterbatasan dalam beberapa hal


Meski diakui bahwa belajar di dunia maya memiliki kelebihan
semisal fleksibilitas yang memungkinkan setiap orang mengatur waktu dan tempat
belajarnya, namun ada beberapa keterbatasan yang perlu juga kita akui.
Salah satunya, di dunia maya, guru dan murid kesulitan dalam
membangun suasana yang penuh keakraban. Ada banyak hal yang sulit diekspresikan
di dunia maya.
Guru yang biasanya ekspresif, menyampaikan materi sambil
menyusuri penjuru kelas, tak bisa dengan melakukannya didepan layar.
Siswa juga mungkin tak bisa seutuhnya melihat gerak-gerik
dan tingkah guru ketika menjelaskan materi didunia maya. Berbeda dengan dunia
nyata. Siswa bisa melihat secara lebih mendalam tentang gurunya dan mengambil
keteladanan dari sikap gurunya.
Bukan hanya itu, harus dipahami bahwa sekolah bukan sekedar
tempat transfer ilmu. Disana juga wadah siswa berinteraksi, bermain, berlatih
komunikasi dengan sebaya, dan sebagainya.  

Saya sulit membayangkan jika sekolah semuanya berlangsung dalam
mode dunia maya.Nyatanya, di masa pandemi ini, banyak juga siswa yang
kehilangan suasana di sekolah. Mereka merindukan sekolah konvensional yang lama
mereka tinggalkan.
Pasti ada kehangatan, keakraban dan berbagai suasana lain
yang hilang selama sekolah beralih menjadi sekolah maya beberapa waktu ini.
Di sekolah, siswa juga punya kesempatan lebih besar untuk meneladani gurunya. Mereka punya peluang bertemu dengan gurunya diluar pembelajaran dalam waktu yang lebih luas.
Dalam konteks itu, sekolah konvensional bisa menjadi tempat juga memberikan proses keteladanan yang sulit dilakukan sekolah maya.

Kedua, sekolah maya
kesulitan dalam membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu


Disatu sisi, fleksibilitas 
memang memudahkan kita sebagai manusia. Namun jika kebablasan, kita juga
lama-lama akan kehilangan mental disiplin dan berisikap tertib.
Meskipun harus diakui bahwa generasi yang sedang menempuh
sekolah hari ini adalah generasi Z yang secara kultur membuatnya menjadi
makhluk fleksibel, kebiasaan untuk tertib aturan dan disiplin juga mesti
dibangun.
Alangkah sulit mengontrol dan membiasakan kedisiplinan jika
terpisahkan jarak sebagaimana di dunia maya. Mengontrol mereka masuk kelas,
istirahat, masuk lagi, fokus menyimak, dan sebagainya menjadi lebih sulit. Belum
lagi, ada banyak celah bagi siswa untuk mengakali teknologi yang selalu punya
kelemahan.
Padahal, yang namanya kebiasaan disiplin itu penting untuk
dibangun. Setidaknya, jika anak sekolah itu anak yang beragama, ia juga perlu
disiplin dalam menjalankan aturan agamanya. Ia juga perlu terbiasa mematuhi
perintah orangtunya.
Sekolah, diakui atau tidak, adalah salah satu wadah yang fungsinya
menghimpun orang untuk terbiasa hidup teratur.


Ketiga, sekolah maya
membutuhkan infrastruktur yang sulit diselesaikan dalam waktu dekat


Dalam kasus Indonesia, Nadiem Makarim mengakui bahwa banyak
daerah yang masih belum memiliki akses memadai soal listrik, sinyal televisi,
dan jaringan internet.
Padahal, hal-hal tersebut adalah hal yang elementer dalam
proses terlaksananya sekolah maya. Tanpanya, mustahil sekolah maya
diberlakukan.
Toh pada akhirnya, di beerbagai daerah sekolah jarak jauh
yang diharapkan dalam mode daring nyatanya tak bisa berjalan mulus. Sinyal yang
buruk dan termasuk kesiapan kuota (ekonomi) yang tidak memadai jadi hambatan
juga.
Makanya Kemendikbud sendiri di masa pandemi menawarkan dua
metode belajar, dengan daring dan dengan luring. Karena banyak yang tidak bisa
daring, sebagian guru terpaksa mengajar dengan mode luring (offline) dengan door to door
mengetuk pintu satu persatu.
Maka jika kondisinya masih seperti ini, ini jadi tambahan
alasan juga bahwa yang namanya sekolah maya itu masih sesuatu yang naïf dapat
menggantikan sekolah konvensional pada umumnya.


Konsep belajar tatap
muka dan dunia maya bukan kompetitor


Kami memandang, antara sekolah konvensional dan berbagai
sarana belajar di dunia maya bukanlah sesuatu yang harus dibenturkan. Mengunggulkan
yang satunya lalu berusaha menghilangkan satu yang lain adalah bukan hal yang
bijak. Ada peran masing-masing yang manfaatnya dapat diambil para pelajar  secara luas.
Dengan fleksibilitasnya, pembelajaran di dunia maya
memungkinkan para pelajar mengakses ilmu yang terbatas disampaikan guru di
sekolah konvensional. Ini sesuatu yang baik tentunya.Bukan hanya itu, di dunia
maya juga para pelajar bisa dengan mudah mengulang apa yang terlupa, dapat
membaca apa yang lupa tak tertulis, dan sebagainya.**

Categorized in: