Gaji guru honorer yang hanya 200 ribu ternyata cukup menghidupi manusia.
Sumber: https://www.detik.com/
Viral kisah seorang guru honorer yang mengisahkan bagaimana
ia mampu bertahan hidup dengan gaji sebesar 200 ribu dalam sebulan. Bukan kali
Ini Saja Sebenarnya terungkap dan viral gaji guru honorer yang jumlahnya kecil.

Namun, karena sampai saat ini tak berubah-ubah juga, menjadi
wajar jika kisah semacam ini berulang viralnya ditengah masyarakat. Dan,
sepertinya viralnya gaji honorer yang kecil ini nanti akan berulang jika
kondisinya tak kunjung berubah.

Kisah guru honorer yang terekspos itu, sebagaimana yang
dikisahkan Detik, dialami oleh sosok bernama Yan Budi Nugroho. Guru honorer
yang tinggal di daerah pureworejo itu mengungkapkan bagaimana ia membagi
penghasilannya sebesar 200 ribu untuk berbagai kebutuhan.

Keperluan bumbu 20 ribu, anggaran bensin 40 ribu, ajak makan
pacar 30 ribu, tabungan nikah 20 ribu, hadiah buat siswa berprestasi 30 ribu,
dan jajan pribadi 60 ribu. Di luar itu, ia mengaku mendapatkan rezeki dari
bertani.


Menyimak kisah Yan Budi Nugroho, saya jadi ingat pesan yang
disampaikan oleh salah seorang guru kehidupan saya. Ia berpesan, pada intinya,
orang yang hidupnya sibuk mengurusi urusan umat (orang lain), pasti akan
dicukupkan urusannya oleh Sang Maha Penyelesai Urusan, yakni Allah SWT. Beliau mengutip
satu ayat dalam al-Quran, tapi saya lupa lagi ayatnya yang mana.

Namun yang jelas, ini menurut saya bisa jadi alasan mengapa
pada akhirnya orang yang berprofesi menjadi guru, berapapun gajinya,
kehidupannya umumnya dicukupkan.

Guru, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah profesi yang
aktivitasnya adalah mengurusi urusan orang lain. Mendidik orang lain supaya
menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi banyak orang.

Yan Budi Nugroho sesungguhnya hanya salah satu contoh saja
bagaimana guru honorer bisa tetap hidup dan cukup meski gajinya hanya 200 ribu
sebulan. Saya yakin, ada ratusan ribu atau bahkan jutaan guru lainnya yang
mengalami apa yang dialami oleh Yan Budi Nugroho.

Saya pribadi pernah merasakan bagaimana menjadi guru dengan
gaji ratusan ribu rupiah sebulan. Meski diwaktu yang sama, saya telah memiliki
istri dan satu orang anak.

Bertahun-tahun saya berada dalam posisi itu. Namun Alhamdulillah,
sepanjang itu, saya tidak pernah kelaparan. Selalu bisa makan. Meski tidak
selalu mewah, namun tidak mengalami yang namanya kelaparan.

Rezeki saat itu datang dari jalan lain. Dari pintu bisnis
yang terbuka, dari hibah orang-orang
sekitar, dan dari hal-hal lain yang seringkali tidak di sangka-sangka pintunya.
Pada intinya, meski gaji kecil, saya pikir waktu itu hidup saya tidak
susah-susah amat ketika masih menjadi guru.


Saya yakin, jika pengalaman guru-guru honorer lainnya
dibagi, akan ada banyak kisah yang mirip. Meski dengan teknis hidup yang
mungkin berbeda-beda.

Rezeki Beda dengan
Gaji


Saya pernah mendapat ilmu yang sangat penting dari salah
seorang ustadz yang saya kenal. Bahwa, yang namanya rezeki itu beda dengan
gaji. Jika gaji adalah pemberian manusia, maka rezeki itu pemberian Sang Maha
Kuasa.

Sang Maha Kuasa, sebagai pemberi rezeki sudah mengabarkan
sebenarnya bahwa setiap makhluk itu dijamin rezekinya. Hingga makhluk seperti
cacing yang tidak punya kaki dan tangan saja nyatanya bisa hidup dalam beberapa
waktu. Begitu juga dengan orang gila. Tanpa digaji, badan mereka banyak yang
segar.

Adapun gaji yang didapatkan dari bekerja, hanya salah satu
jalan saja yang menjadi pintu Sang Maha Kuasa menitipkan rezekinya. Jika dalam
hitungan matematis gaji itu tak cukup untuk menghidupi makan, pakaian, dan
papan, maka biasanya ada pintu lain yang terbuka.

Inilah mengapa bahwa sebagai guru, meski gaji kecil, kita
harus tetap professional menjalankan profesi sebagai guru. Tugas-tugas guru
harus tetap dipikirkan dan dijalankan dengan penuh keikhlasan. Untuk masalah
rezeki, sesungguhnya hal yang tak terlalu besar untuk dikhawatirkan. Pasti dijamin
selama ada itikad berikhtiar.

Hal ini karena bagaimanapun, mencari nafkah adalah
kewajiban, berapapun hasil yang didapat, pahalanya insya Allah ada. Setiap tetes
keringat yang dikeluarkan pasti ada nilainya.

Meski orang yang bekerja dan tidak bekerja sama-sama dapat
rezeki, tetap ada perbedaan pentingnya. Orang yang bekerja dapat pahala dari
kegiatannya mencari nafkah, sedang orang yang santai-santai tak bekerja tentu
tidak sama.


Bukan Berarti Tak Perlu Digaji
Besar


Di satu sisi, memang benar sih rezeki itu pasti dijamin. Berarapun
gajinya, guru pasti bisa tetap bertahan hidup dengan jaminan rezeki dari Sang
Maha Kuasa.

Namun, hal ini tak berarti pemerintah atau lembaga-lembaga
yang mempekerjakan guru boleh terus menerus membiarkan gaji guru yang
dipekerjakannya segitu-gitu saja. Hal ini sesuatu yang lain.

Karena mestinya, sebagai manusia, mesti berusaha memudahkan
urusan orang lain. Saling bertolong menolong dan tidak saling memberatkan. Ini artinya,
pemerintah dan lembaga-lembaga yang mempekerjakan guru mesti ada itikad dan
ikhtiar untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan guru yang
dipekerjakannya.

Jangan sampai guru-guru itu diliputi rasa tak tenang dalam
hidupnya. Toh dalam perspektif lain, ini juga punya potensi untuk memengaruhi
kualitas anak didik yang sekolah di lembaga tempat guru tersebut bekerja.

Meski sebenarnya berapapun gajinya guru harus professional,
namun tak semua guru punya ketahanan untuk menjalankan ini. Sehingga dampaknya,
bisa jadi ada guru yang membawa suasana hati diluar kelas ke dalam kelas. Akhirnya,
target-target sekolah juga bisa tak tercapai.

Bagi pihak pemerintah atau lembaga-lembaga yang
mempekerjakan guru, mengusahakan kesejahteraan guru juga adalah bentuk
keseriusan mengurusi urusan orang lain. Sehingga upaya ini bisa jadi jalan juga
urusan para pemberi kerja ini menjadi mudah. Sekolahnya menjadi maju, dan
lembaganya menjadi semakin besar manfaatnya.

Guru-guru yang disejahterakan bisa juga semakin loyal dan
rajin mendoakan kebaikan untuk tempatnya bekerja. Pada akhirnya, sekolah
menjadi penuh kebaikan dan keberkahan.**

Categorized in: