Salah satu penyakit yang mungkin menjangkiti para guru
di  usia tua adalah malas belajar. Penyakit
malas belajar ketika tua sebenarnya bukan hanya dikalangan guru.  Kalangan lain juga sama. Namun, ketika ini
dijangkiti oleh guru, maka dampak buruknya lebih besar.
Mengapa berbahaya? Karena zaman terus berubah. Ilmu-ilmu
baru bertambah. Informasi-informasi baru terus berdatangan.  Disisi sisi lain, akses anak-anak yang dididik
terhadap ilmu dan informasi-informasi semakin luas dan mudah.
Sejak ada ponsel pintar (smartphone),
anak-anak bisa mengakses ilmu dari browser, dari internet, dari
aplikasi-aplikasi belajar, dan banyak lagi. Hal ini jelas menjadi tantangan
besar jika guru malas belajar.
Padahal, ditinjau dari berbagai sisi, tidak ada alasan bagi
guru untuk berhenti belajar. Sekalipun usianya sudah tua.
Ditinjau dari sisi
agama,
belajar adalah kewajiban agama. Tugas belajar adalah kewajiban yang
mengikat dari kecil hingga ke liang lahat. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu
Majah, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.”

Kewajiban belajar tidak beda dengan kewajiban-kewajiban
agama yang lain. Sama-sama harus dilaksanakan. Maka mestinya ada rasa tak
tenang jika berhenti belajar. Hal ini karena selama ia memiliki predikat
seorang muslim, alasan tua tidak bisa dijadikan alasan.
Terlepas jika upayanya menghasilkan hasil yang berbeda. Mungkin
benar belajar ketika tua dan muda itu berbeda. Persis sebagaimana ungkapan
bijak “Belajar diwaktu kecil bagai menulis di atas batu. Belajar diwaktu
besar bagai menulis di atas air.”
Namun patut diingat, belajar ketika muda mungkin memang akan
lebih mudah dalam menyerap ilmu, namun bukan berarti yang tua berhak beralasan
tidak belajar. Hal yang diperhatikan adalah kesungguhan dan keseriusan dalam
belajar.
Ditinjau dari sisi
historis dan kenyataan,
ternyata tak sedikit contoh-contoh manusia yang
bisa menjadi seorang ahli ilmu ketika memulai proses belajarnya di usia tua. Tak
sedikit manusia yang ketika mudanya jauh dari kultur dan kebiasaan belajar,
namun ketika tua ia baru tersadar kewajibannya. Bahkan kesungguhannya belajar
di usia tua menjadikannya seorang ahli ilmu.
Sebut saja ulama seperti Imam Ibnu Hazm An-Andalusy. Salah seorang
ulama yang dikenal menguasai banyak disiplin ilmu. Ia memulai proses belajarnya
ketika usianya sudah masuk seperempat abad. Namun meski demikian, dengan
kesungguhan, ia menjadi ulama yang diakui keilmuannya di dalam lintasan sejarah
Islam.
Ada juga Al-Kisa’i. Al-Kisa’I adalah ulama fikih dari Mazhab
Syafi’I yang bernama Al-Qaffal Al-Marwazi. Sebelum menjadi ulama, Al-Kisa’i
menjadi menghabiskan usianya menjadi tukang duplikat kunci hingga usia empat
puluh tahun. Bahkan bukan hanya itu, ia tak mengerti agama sama sekali karena
hidupnya dihabiskan untuk bekerja.
Namun, meski ia menemukan titik balik diusia yang sudah tua,
ia tetap bersungguh-sungguh mengejar ketertinggalannya. Daya ingat yang menurun
di masa tua di membuatnya hilang semangat. Sehingga ia gigih belajar dan
mendapatkan buahnya dengan menjadi seorang ulama terkemuka.
Masih banyak kisah-kisah lainnya tentunya. Dua kisah di atas
hanya contoh saja. Bagaimana orang yang memulai aktivitas belajar di usia tua
nyatanya bisa mencapai keberhasilan.
Tentu saja, kalau dilihat dari sudut pandang logika, guru
mestinya lebih mudah belajar ketika tua. Guru sejak muda terbiasa dengan kultur
belajar. Sebelum menjadi guru, pasti guru menempuh pembelajaran diusianya yang
belum memasuki usia 20 tahun.
Sampai sini, masih adakah alasan untuk berhenti belajar?

Silahkan share artikel ini jika bermanfaat dengan cara memilih tombol media sosial di bawah ini
↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓↓

Categorized in: