seiring perkembangan zaman, belajar jadi online
Pada 2 Juli lalu, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan
sebuah wacana yang menarik. Sebagaimana dikutip dari kompas.com, ia menyampaikan bahwa pembelajaran jarak jauh akan
permanen. Tak akan selesai seiring berlalunya pandemi. Namun akan tetap berlanjut
setelahnya.
Alasan yang dikemukakannya, selama pandemi berlangsung,
sekolah menjadi terbiasa dengan pemanfaatan teknologi dalam proses
pembelajarannya. Teknologi yang sudah diadaptasi dan menjadi kebiasaan, akan
sulit untuk dicabut lagi secara utuh. Artinya, setelah pandemi, teknologi
pembelajaran dengan berbagai software dan
aplikasi akan menjadi kebutuhan.
Meski tentu saja, yang dimaksud pembelajaran jarak jauh
setelah pandemi berakhir bukanlah full jarak jauh. Namun, sebagaimana dikatakan
mantan Bos Gojek tersebut, menggunakan model
pembelajaran hybrid.

Apa Itu Model Pembelajaran
Hybrid?

Pengertian model pembelajaran hybrid secara umum adalah
penggabungan dua metode balajar untuk mencapai sasaran pendidikan. Dua metode
yang dimaksud yakni dengan metode langsung atau tatap muka, dengan metode jarak
jauh yang memanfaatkan media digital serta jaringan internet. Keduanya diintegrasikan
dalam suatu kesatuan pembelajaran.
Pembelajaran hybrid atau hybrid learning adalah
bentuk yang lebih kompleks dari apa yang disebut dengan pembelajaran campuran
atau blended
learning.
Pembelajaran jenis ini tetap menggunakan kelas tradisional
sebagai tempat belajarnya. Hanya saja, ketika di kelas, pembelajaran yang
dilakukan memanfaatkan teknologi virtual. Namun, ada juga sebagian orang yang
menyamakan antara hybrid learning dan blended learning. Intinya, titik
tekannya adalah pemanfaatan teknologi virtual.
Dua istilah ini sebetulnya bukanlah hal yang baru dalam
dunia pendidikan. Di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, model semacam
ini telah lama digunakan. Terutama, untuk jenjang perguruan tinggi. Menggabungkan
model tatap muka dengan pembelajaran jarak jauh ini diintegrasikan dengan
dengan beberapa opsi.

Kategori Hybrid Learning

Ada beberapa kategori hybrid
learning
sebagaimana yang dilansir oleh USA
Today Classifieds
. Antara lain:

  • Online

Dalam opsi ini, sebagian instruksi dilakukan melalui
platform online. Sehingga siswa tidak akan terlalu sering masuk kelas dan
berada di sekolah. Interaksi yang dilakukan dengan model tatap muka dilakukan
secara berkala dan diatur sedemikian rupa sesuai dengan keperluan.

  • Rotasi

Dengan cara rotasi, siswa dibagi ke dalam dua atau beberapa
kelompok. Kelompok-kelompok ini secara bergantian mengikuti studi online secara independen di luar kelas,
sementara yang lainnya belajar seperti biasa di kelas. Kedua kegiatan ini
dilakukan bergantian oleh antar kelompok. Dengan demikian, akan ada penghematan
fasilitas bangunan dan ruang kelas.

  • Flex

Dalam opsi ini, pembelajaran dilakukan secara normal di
kelas. Hanya saja, guru menyediakan bimbingan tambahan yang memanfaatkan media online jika diperlukan. Guru mungkin
hanya fokus pada kelompok kecil siswa saja yang dipandang memerlukan penguatan
atau materi tambahan.

  • Personalisasi

Guru merancang program yang berbeda untuk masing-masing
individu. Tentu akan ada lebih banyak pendekatan dan konten yang digunakan. Guru
mungkin akan memilah mana materi yang perlu dipersonalisasi dan mana yang
tidak. Untuk yang tidak perlu, materi bisa jadi disampaikan secara umum di
kelas. Sementara pada materi-materi tertentu, guru membuat konten yang sama
dengan pendekatan berbeda untuk dibagikan secara online.

  • Lab online

Pilihan ini dilakukan dengan tetap memanfaatkan ruang kelas.
Namun, materi dan arah disampaikan secara virtual oleh guru yang tampil di
layar. Lalu di kelas hanya ada orang-orang yang bertindak sebagai pengawas dan
profesional dalam bidang penggunaan teknologi.

  • Self Blend

Opsi ini dilakukan dengan cara memberi rekomendasi untuk
siswa-siswa yang tertinggal dalam materi tertentu. Guru tak perlu membuat
konten tambahan, guru cukup memberikan rekomendasi konten yang cocok untuk
dijadikan materi tambahan bagi siswa-siswanya di kelas.

Kelebihan Yang
Ditawarkan Hybrid Learning

Menggunakan model hybrid
learning
dengan turunan opsi yang ditawarkannya, sebetulnya berpotensi
memberikan manfaat, terutama bagi siswa. Meskipun pada akhirnya manfaat ini
akan bergantung kepada konteks dan variabel yang berbeda di masing-masing tempat
atau negara yang menjadi lokasi pelaksanannya.
Namun setidaknya, ada beberapa kelebihan yang dapat
disajikan:

  • Waktu belajar lebih
    fleksibel

Dengan model ini, siswa dan guru bisa tidak terikat dengan
terlalu banyak waktu. Guru bisa membuat atau menyusun konten materi belajar
pada rentang waktu tertentu. Begitu juga dengan siswa. Siswa juga bisa belajar
di waktu yang lebih fleksibel. Ini tentu
terjadi apabila hybrid learning yang
digunakan tidak menyaratkan bentuk live.

  • Bahan belajar lebih
    luas

Hybrid learning juga
memungkinkan guru menyusun bahan ajarnya lebih banyak dan luas. Kemudahan akses
informasi yang diberikan media daring berikut proses transfer informasinya,
akan memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi guru memberi lebih banyak
materi ketimbang sekedar di ruang kelas. Begitu juga dengan siswa. Siswa juga
memiliki keuntungan dalam aspek ini.

  • Retensi materi

Dengan model hybrid, materi
juga bisa disimpan dan dipelajari lebih dari satu kali oleh siswa. Pemanfaatan teknologi
yang mendukung penyimpanan atas file-file seperti dokumen, foto, hingga video,
tentu akan berguna bagi siswa. Siswa yang ketika dikelas mengantuk dan tak
fokus, dapat mengulangi materi dari gurunya dengan lebih mudah jika materi
tersebut dapat disimpan dalam bentuk file.

  • Efisiensi biaya

Sejauh ini, anggaran untuk dunia pendidikan di Indonesia sebagiannya
habis untuk membeli batu bata, semen, dan bahan baku membangun gedung. Baik untuk
pembangunan ruang kelas baru atau sekedar perawatan bagunan beserta sarana
fisik lain yang menyertainya. Dengan hybrid
model,
dimungkinkan biaya yang lebih efisien.

  • Variasi konten

Model ini juga memungkinkan konten yang disampaikan guru
menjadi sangat variatif. Bahkan bisa dimasukan dengan konten semacam video, game, atau kuis online yang berpotensi lebih atraktif
dan menyenangkan bagi sebagian siswa.

  • Jangkauan untuk siswa
    yang lebih luas

Jika dalam kelas tradisional guru hanya dapat menjangkau
20-40 siswa dalam satu atau dua jam pelajaran, dengan hybrid learning guru akan lebih luas jangkauannya. Cukup dengan
berbicara atau membuat konten dalam satu jam saja, guru bisa mengirimkan dan
menjangkau ratusan atau bahkan ribuan siswanya sekaligus.

Apakah Model Ini
Terbukti Berhasil?

Banyak penelitian yang sudah menguji seberapa efektif
pembelajaran mencapai tujuannya dengan model yang semacam ini. Faktanya,
penggunaan model semacam ini bisa cocok dan bisa juga tidak. Ada yang berdampak
baik, ada yang sama saja, bahkan ada juga yang menunjukan bahwa model ini malah
berdampak buruk.
Namun satu yang pasti, variable
yang sangat berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya model pembelajaran
semacam ini adalah dukungan sarana teknologi dan kemampuan sumber daya manusia
atas teknologi tersebut. Ini adalah faktor yang dapat menjadikan model ini
berjalan lancar atau tidak.

Mungkinkah Hybrid Learning Diterapkan Di Indonesia?

Ini adalah pertanyaan yang menarik. Untuk menjawabnya, kita
harus mengamati data-data yang berhubungan dengan kesiapan teknologi. Sebagaimana
dikatakan sebelumnya, inilah faktor yang yang paling penting dalam penerapan hybrid learning.

  • Data pengguna listrik

Berdasarkan data yang dikutip dari katadata.co.id, hingga tahun 2018 masih terdapat lebih dari satu
juta rumah tangga yang belum teraliri listrik. Artinya, jika satu rumah tangga
terdiri dari pasangan suami istri dengan dua anak, maka ada lebih dari 4 juta
orang yang di Indonesia yang belum teraliri listrik. Padahal, listrik adalah
hal asasi dalam pemanfaatan teknologi.
Data ini belum ditambah dengan yang teraliri namun terdampak
pergiliran pemadaman atau kesulitan membiayai tariff listrik yang dari waktu ke
waktu makin mahal.

  • Data pemilik smartphone

Dari survey yang dilakukan oleh pew research center pada tahun 2018, ditemukan data bahwa hanya 42%
masyarakat Indonesia yang memiliki smartphone.
Diluar itu, 28% hanya memiliki HP biasa, dan 29% tidak memiliki smartphone maupun HP biasa. Padahal, smartphone saat ini bisa dikatakan
teknologi yang paling memungkinkan untuk membuat pembelajaran dengan hybrid learning dapat berjalan dengan
baik.

  • Data kemampuan
    membeli kuota

Dari 42% pemilik smartphone
tersebut, tentu tidak semuanya lancer dalam membeli kuota internetnya. Lancar
atau tidaknya ini sangat bergantung dengan kemampuan membeli kuota. Penulis belum
menemukan survey terkait hal ini. Hanya saja, berdasarkan pengalaman selama
pandemi, banyak diantara siswa dan mahasiswa di Indonesia yang mengeluhkan
persoalan kuota ini.

  • Data guru gaptek

Data tentang gapteknya sebagian besar guru di Indonesia ini
diakui sendiri oleh Plt. Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud Gogot
Suharwoto sebagaimana dikutip medcom.id pada
2 Februari 2020 lalu. Katanya, lebih dari 50% guru di Indonesia masih rendah
dalam kompetensi TIK.

Berdasarkan tiga kenyataan diatas, maka kita bisa menyimpulkan beberapa hal soal kemungkinan hybrid learning yang dimaksud campuran pendidikan jarak jauh dan tatap muka itu diterapkan.

Pertama, hanya
dilakukan di lokasi tertentu, tidak diseluruh Indonesia

Sebagaimana disebutkan, masih banyak rumah tangga yang belum
teraliri listrik. Selain itu, kepemilikan smartphone
dan kemampuan membeli kuota masih terbatas. Bahkan, sekalipun di kota
besar, fakta ini juga sulit dihindari. Artinya, penerapan hybrid learning mungkin saja dilakukan di lokasi tertentu dengan
kemampuan mumpuni soal sarana teknologinya. Tentu berikut dengan kemampuan
gurunya.
Pertanyaannya, berapa persen dari seluruh Indonesia yang
memiliki persyaratan semacam ini? Tidak bida dipastikan, belum data datanya. Namun
yang pasti akan sangat sedikit dibanding yang belum mampu.

Kedua, hybrid learning dilakukan dengan
kategori yang sederhana

Jikapun akhirnya hybrid
learning
harus didorong digunakan dalam waktu yang dekat, maka mungkin yang
dilakukan adalah dengan versi yang jauh tak berbeda dengan pembelajaran tatap
muka. Artinya, siswa tetap tatap muka di kelas dan diberikan materi secara
virtual. Namun, ini juga tetap tak bisa dilakukan di sekolah yang belum ada
listrik, susah akses listrik, atau mayoritas gurunya gaptek.

Ketiga, menyiapkan
beberapa tahun lagi

Walhasil, agar hybrid
learning
ini bisa benar-benar diberlakukan, maka yang diperlukan adalah
penyiapan sarana yang tentu saja berhubungan dengan proses pembangunan
infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Yang jadi pertanyaan,
kapan itu terjadi? Kita tak tahu dan tidak bisa memastikan. Karena faktanya
hingga hari ini kondisi ekonomi negara juga kian prihatin.
Demikian sedikit pembahasan tentang Kemungkinan Pembelajaran Jarak
Jauh Akan Permanen Dengan Model Hybrid.
Semoga
bermanfaat.

Categorized in: