Is a blog that discusses website design and also shares some interesting tutorials for everyone. Make free templates and premium templates for all.
Mata Pendidikan

Mengapa Jumlah Rakaat Sholat Tarawih Berbeda-beda ?

𝗦𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗽𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗺𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗮𝗸𝗮𝗮𝘁 𝘁𝗮𝗿𝗮𝘄𝗶𝗵

Ibnu Hajar al-Asqalaniy menerangkan bahwa para ulama ada yang menetapkan 11, 13, 21, 23, 39, 41 dan 47 rakaat, sekalian dengan shalat witirnya. (Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathu al-Bariy, juz IV, halaman 296). 

Imam Syafi’i menerangkan: “Saya melihat orang-orang Madinah mengerjakan 39 rakaat dan orang-orang Makkah mengerjakan 23 rakaat".  Dan ini tidak ada masalah apapun (boleh-boleh saja).

Imam An-Nawawi menjelaskan, para ulama bersepakat bahwa hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunah, dan jumlahnya adalah 20 rakaat dengan  setiap dua rakaat satu salam. 

Imam Malik sendiri memilih 8 rakaat. Tapi kebanyakan Malikiyah sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah yang sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 rakaat, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’-nya, serta menjadi pilihan mayoritas umat muslim. 

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ إلَى أَنَّ التَّرَاوِيحَ عِشْرُونَ رَكْعَةً لِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ مِنْ قِيَامِ النَّاسِ فِي زَمَانِ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ مِنْ الرَّكَعَاتِ جَمْعًا مُسْتَمِرًّا قَالَ الْكَاسَانِيُّ: جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله تعالى عنه فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ. وَقَالَ الدُّسُوقِيُّ وَغَيْرُهُ: كَانَ عَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ. وَقَالَ ابْنُ عَابِدِينَ: عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا. وَقَالَ عَلِيٌّ السَّنْهُورِيُّ: هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَاسْتَمَرَّ إلَى زَمَانِنَا فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ وَقَالَ الْحَنَابِلَةُ: وَهَذَا فِي مَظِنَّةِ الشُّهْرَةِ بِحَضْرَةِ الصَّحَابَةِ فَكَانَ إجْمَاعًا وَالنُّصُوصُ فِي ذَلِكَ كَثِيرَةٌ. (الموسوعة الفقهية . ج ٢٧ ص ١٤٢) ـ 

 “Menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah), shalat tarawih adalah 20 rakaat berdasar hadist yang telah diriwayatkan Malik bin Yazid bin Ruman dan Imam al-Baihaqi dari Sa’ib bin Yazid tentang shalatnya umat Islam di masa Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh, yakni 20 rakaat. Umar mengumpulkan orang-orang untuk melakukan tarawih 20 rakaat secara berjamaah dan masih berlangsung hingga sekarang. Imam al-Kasani berkata, ‘Umar telah mengumpulkan para sahabat Rasulullah, lantas Ubay bin Ka’ab mengimami mereka shalat 20 rakaat, dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya, maka hal itu sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka.’  Imam Ad-Dasukyi dan lainnya berkata, ‘Itulah yang dilakukan para sahabat dan tabi’in.’ Imam Ibnu ‘Abidin berkata, ‘Itulah yang dilakukan orang-orang mulai dari bumi timur sampai bumi barat.’ ‘Ali As-Sanhuri berkata, ‘Itulah yang dilakukan orang-orang sejak dulu sampai masaku dan masa yang akan datang selamanya.’ Para ulama mazhab Hanbali mengatakan, ‘Hal sudah menjadi keyakinan yang masyhur di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma’ dan banyak dalil-dalil nash yang menjelaskannya.’” (Mausû’ah Fiqhiyyah, juz 27, h. 142).


Awalnya adanya tradisi shalat tarawih di bulan Ramadhan merupakan bentuk pemahaman dari hadits Nabi :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 “Barangsiapa bangun (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Nabi saw sendiri mulai mengerjakan shalat tarawih pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriah. Rasulullah pada masa itu mengerjakannya tidak selalu di masjid, melainkan kadang di rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist:

 عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم) 

 “Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, 'Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, "Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Adapula, hadis sahih lain yang diriwayatkan Aisyah ra.

وَعَنْهَا ، قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَزِيْدُ – فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ – عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أرْبَعاً فَلاَ تَسْألْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاثاً. فَقُلتُ: يَا رسولَ اللهِ ، أتَنَامُ قَبْلَ أنْ تُوتِرَ؟ فَقَالَ: (( يَا عَائِشَة، إنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (baik dalam bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan Lainnya) dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan tentang bagus dan panjangnya rakaat tersebut. Kemudian beliau shalat empat rakaat, maka janganlah engkau tanyakan bagusnya dan panjangnya rakaat tersebut. Lalu beliau shalat tiga rakaat. Maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Aisyah, sesungguhnnya mataku tidur tetapi hatiku tidak.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1147 dan Muslim, no. 738)

Pada masa Nabi saw tidak ada istilah ibadah dengan nama tarawih, adanya qiyamul lail (shalat malam), yang beliau lakukan dan contohkan selama Ramadhan. Istilah tarawih baru muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang mulai menyelenggarakan shalat tarawih secara serentak berjamaah di masjid. 

Umar bin Khattab berinisatif untuk menggelarnya secara berjamaah, setelah menyaksikan umat Islam shalat tarawih yang tampak tidak kompak, sebagian shalat secara sendiri-sendiri, sebagian lain berjamaah. Sebuah hadits shahih memaparkan: 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ  

 “Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka dikumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan  mereka dengan seorang imam, yakni Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah).” (HR Bukhari).

Dari sini sudah sangat jelas bahwa pertama kali orang yang mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah adalah Sayyidina Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi. Jamaah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan jumlah 20 rakaat. Sebagaimana keterangan:

 عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً 

“Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radliyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR Malik). 


Bukti lain dari keterangan tersebut adalah hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid:

 عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ  

“Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya).

Inisiatif Sayyidina Umar yang kemudian diikuti para sahabat dan ulama setelahnya adalah sangat wajar bila kita menengok sabda Nabi:

 أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِنَّ اللهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ 

 “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati umar.” (HR. Turmudzi). 

Hadits tersebut menunjukkan kredibilitas Sayyidina Umar yang mendapat “stempel” langsung dari Rasulullah, sehingga mustahil beliau berbuat penyimpangan, apalagi dalam hal ibadah. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak ada ketetapan khusus dari Nabi saw tentang berapa jumlah rakaat shalat tarawih. 

Hanya saja para ulama yang memilih pendapat 20 rakaat di atas, atas dasar "keputusan" sahabat Umar bin Khattab, dan tindakan Umar tersebut tidak dikomentari oleh para sahabat yang lainnya. Sedangkan sisanya memilih hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. Dan andaikata ada yang memilih jumlah rakaat yang berbeda, hal ini bukan sesuatu yang masalah. 

Itulah yang menjadi landasan perbedaan jumlah rakaat tarawih yang dilaksanakan, yakni Muhammadiyah dengan 11 rakaat dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan 23 rakaat. 

Posting Komentar